Breaking News

Presley Simangunsong dan Perlawanan Sunyi Menghidupkan Tradisi Lisan Batak Toba

SIDIKKASUS.COM-Medan — Di saat sebagian besar ruang publik anak muda dipenuhi konten digital serba instan, tradisi lisan Batak Toba kian terdesak ke pinggir peradaban. Umpasa yang dulu menjadi penanda kecerdasan berbahasa, pantun Batak yang mengajarkan petuah hidup, hingga ende yang menyimpan jejak sejarah komunitas, kini lebih sering terdengar hanya di acara adat. Itupun, semakin banyak generasi muda yang tidak lagi memahami maknanya. Kamis (20/11/2024) 

Kondisi itu menjadi alarm bagi Presley Panca Yaya Simangunsong, lulusan Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara. Ia membaca kegelisahan itu bukan sekadar gejala perubahan zaman, melainkan tanda keterputusan generasi. “Jika tradisi lisan tidak lagi dikenal, itu artinya kita sedang kehilangan ingatan kolektif,” ujar Presley dalam perbincangan terbatas di Medan.

Berangkat dari keresahan tersebut, Presley mendirikan Alusi Au, komunitas kecil yang menjadi ruang alternatif untuk mempelajari kembali tradisi lisan Batak Toba. Berbeda dari program kebudayaan formal yang sering terasa kaku, Alusi Au memilih masuk lewat pendekatan yang dekat dengan ritme anak muda: diskusi santai, kelas kreatif, dan pertunjukan mini yang menafsir ulang tradisi tanpa kehilangan esensi.

Presley menilai masalah utama bukan pada minimnya minat generasi muda, melainkan cara penyampaian tradisi yang tidak lagi relevan. “Anak muda tidak anti budaya. Mereka hanya butuh medium yang tidak menggurui,” tegasnya.

Melalui Alusi Au, umpasa diperkenalkan sebagai ekspresi sastra yang kuat, bukan sekadar pelengkap pesta adat. Pantun Batak dipraktikkan sebagai bentuk kreativitas. Bahkan beberapa peserta membawa pengalaman baru, menggubah umpasa sesuai realitas mereka, tentang sekolah, cinta, hingga kehidupan digital, namun tetap menjaga struktur tradisinya.

Upaya Presley mendapat sambutan mengejutkan. Beberapa sekolah di Medan mulai mengundang Alusi Au untuk memberi materi budaya pada kelas ekstrakurikuler. Komunitas seni independen juga membuka ruang kolaborasi. “Ini bukti bahwa tradisi tidak mati; yang mati hanya cara kita menghidupkannya,” kata Presley.

Di tengah semakin menipisnya ruang intergenerasi dan derasnya globalisasi budaya, inisiatif Presley menjadi bentuk resistensi tenang terhadap hilangnya jati diri kolektif. Ia berharap gerakan kecil ini mendorong anak muda Batak Toba untuk tidak hanya mengenali, tetapi juga mengambil peran dalam merawat tradisi.

“Pelestarian budaya bukan nostalgia,” pungkasnya. “Ini investasi identitas.”

Dengan ketajaman pemikiran dan langkah konkret di akar rumput, Presley Simangunsong menunjukkan bahwa mempertahankan tradisi bukanlah langkah mundur melainkan cara paling dasar menjaga keberlanjutan sebuah bangsa.(Lie)
© Copyright 2022 - sidikkasus.com