SIDIK KASUS,GOWA,SULSEL— Ratusan massa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Manuju (GERAM) kembali turun ke lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Je’nalata, menagih kepastian hukum pembebasan lahan warga yang hingga kini belum tuntas. Aksi damai ini diterima langsung oleh Kepala BPN Gowa Aksara Alif Raja, perwakilan BBWS Pompengan Jeneberang, Kementerian PUPR, dan Camat Manuju, serta dimediasi oleh Kapolres Gowa AKBP Muh. Aldy Sulaeman dan jajaran TNI.
BPN dan BBWS Diminta Tegas Beri Kepastian Hukum
Kepala BPN Gowa, Aksara Alif Raja, menegaskan bahwa BPN hadir sebagai instrumen kepentingan semua pihak, baik yang membutuhkan tanah maupun yang tanahnya dibutuhkan negara.
“BPN adalah instrumen untuk kepentingan semua pihak, baik yang membutuhkan tanah maupun yang dibutuhkan tanahnya. Setelah mendengar aspirasi, yang paling dibutuhkan masyarakat adalah kepastian hukum dan informasi yang valid. Kami siap turun melayani dan memberikan informasi yang sangat valid,” tegasnya.
Aksara menjelaskan, hingga saat ini telah ada 77 bidang tanah di Desa Moncongloe yang siap dimusyawarahkan untuk ganti rugi, sementara 26 bidang di Desa Bissoloro masih menunggu penyelesaian berkas. Ia juga mengonfirmasi bahwa dana pembebasan lahan sebesar Rp128 miliar telah tersedia di BBWS Pompengan Jeneberang, tinggal menunggu validasi dokumen agar pembayaran dapat segera dilakukan. Kami pastikan musyawarah ganti rugi 77 bidang di Desa Moncongloe paling lambat dilakukan Selasa depan," ujarnya.
Ia juga meminta camat dan pemerintah desa mempercepat pelengkapan berkas agar hak masyarakat tidak tertunda.
“Persoalannya bukan pada uangnya, tapi pada kelengkapan berkas. Kami minta camat dan desa segera melengkapi agar masyarakat tidak terus dirugikan,” tambahnya.
Gerakan Rakyat: Negara Harus Hadir Memberi Keadilan
Jenderal Lapangan Maslim menegaskan, aksi ini bukan untuk menolak pembangunan, tetapi menolak ketidakpastian hukum.
“Kami sudah sering demo, tapi masyarakat tidak pernah mendapatkan kepastian hukum. Biaya pembebasan lahan harusnya lebih besar daripada biaya pembangunan. Selesaikan dulu hak rakyat, baru lanjutkan proyek. Jangan biarkan pembangunan berjalan di atas penderitaan masyarakat,” tegas Maslim.
Ia juga menyoroti lemahnya komunikasi antar-lembaga negara dan meminta agar tim appraisal yang dinilai memiliki konflik kepentingan dievaluasi secara menyeluruh.
“Periksa dan evaluasi tim appraisal yang kami duga tidak independen. Negara harus hadir memberikan keadilan, bukan menimbulkan ketegangan baru di masyarakat,” ujarnya.
HAM Masyarakat Manuju Dikebiri oleh Negara.
Ketua Bidang HAM Badko HMI Sulsel, Iwan Mazkrib, menyebut bahwa proyek ini telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan konstitusi.
“Masyarakat telah menyerahkan tanah, rumah, ketenangan dan sejarah hidup mereka. Tapi negara justru menelantarkan hak mereka tanpa kepastian hukum. Ini bukan sekadar persoalan nominal atau kompensasi materiil,
tetapi persoalan harga diri, sejarah, dan ketenangan hidup masyarakat Manuju yang telah turun-temurun bermukim di tanah leluhurnya. Peristiwa ini bukan hanya pelanggaran administrasi, tapi pelanggaran konstitusional dan HAM. ,” ujarnya tegas.
“Pembangunan boleh berlanjut, tapi hak rakyat harus lebih dulu dijamin. Masyarakat sudah menyerahkan tanah, meninggalkan sejarah dan ketenangan hidupnya, tapi hingga kini belum ada kejelasan. Ini bentuk nyata negara mengebiri HAM rakyat Manuju,” tegasnya.
Menurutnya, persoalan Bendungan Je’nalata telah melanggar prinsip-prinsip good governance, transparansi publik, serta asas-asas pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999).
“Kalau setelah aksi ini tidak ada langkah konkret, maka isu ini akan kami bawa ke tingkat nasional. Karena jelas, pelanggaran terhadap hak rakyat Manuju adalah bentuk nyata abainya pemerintah terhadap hak-hak rakyat.,” pungkasnya.
Ia juga meminta transparansi terhadap dana proyek, termasuk keterlibatan tenaga kerja asing dan perusahaan mitra seperti PT Adhi Karya, PT Wijaya Karya, dan China CAMC Engineering.
Tuntutan GERAM
1. Hentikan sementara pembangunan Bendungan Je’nalata sebelum seluruh pembebasan lahan warga tuntas.
2. Evaluasi Tim Appraisal yang diduga memiliki konflik kepentingan.
3. Tegakkan prinsip supremasi hukum dan keadilan sosial sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28H, UU No. 39/1999 tentang HAM, dan UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
4. Segera tandatangani Pakta Integritas antara ATR/BPN, BBWS, Kejaksaan, dan Pemkab Gowa untuk menjamin transparansi dan tanggung jawab publik.
5. Publikasikan sumber dan alokasi anggaran proyek, termasuk dana APBN dan pinjaman luar negeri (JICA).
6. Pastikan keterlibatan tenaga kerja lokal dan awasi pekerja asing tanpa izin resmi.
Proyek Bendungan Je’nalata dengan nilai sekitar Rp1,7 triliun bersumber dari APBN dan pinjaman JICA (Jepang). Namun hingga kini, sebagian bidang lahan di Kecamatan Manuju belum selesai pembebasannya, memunculkan dugaan pelanggaran asas good governance, kepastian hukum, dan hak asasi


Social Header